KUPANG. NUSA FLOBAMORA – Pengamat Politik dari Universitas Muhammadyah Kupang, NTT, DR. Ahmad Atang menilai, walaupun pengelompokkan partai politik sudah mencair, akan tetapi penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 masih diwarnai politik identitas, khususnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Berkaca dari tahun Pemilu 2019, kekuatan yang beroperasi itu kekuatan politik cost dan politik identitas. Dan di level politik mana pun politik identitas selalu kuat pada pilpres dan pilkada,” katanya, dalam podcast youtube Teman Cerita, Selasa (1/11/2022).
Sementara pada level pemilihan legislatif, politik transaksional masih menjadi cara yang dominan digunakan untuk memenangkan kursi parlemen, baik level DPR RI, DPD, maupun DPR tingkat Provinsi dan kabupaten/kota.
Ahmad Atang mengatakan, politik identitas biasanya menjadi isu yang selalu digunakan dalam kompetisi Pilpres dan Pilkada, termasuk pada Pemilu tahun 2024.
Isu-isu tersebut dikemas berdasarkan konfigurasi politik yang dibangun dalam perbedaan suku, agama, wilayah untuk mendapatkan dukungan suara publik.
Isu identitas, lanjutnya, mewarnai panggung perpolitikan Indonesia dilatarbelakangi masyarakat yang heterogen dan multikultural bangsa Indonesia. Sehingga kondisi tersebut membingkai budaya politik Indonesia menjadi sangat identitas, baik nasional maupun daerah.
“Indonesia ini kan bukan masyarakat homogen tapi kita masyarakat multikultur. Kita tidak bisa menafikan latar belakang perbedaan itu dan itu sah. Yang menjadi masalah itu adalah pada takaran seperti apa politik identitas dimainkan,” katanya.
Artinya, takaran politik identitas itu menjadi wajar dalam fakta multikultural Indonesia. Namun menjadi tidak wajar jika perbedaan latar belakang kultural menjadi bahan untuk menyebarkan berita bohong, provokasi SARA, mendiskreditkan sesama atas nama perbedaan, hingga perilaku intoleran dan teror dalam sebuah kontestasi demokrasi.
Ahmad Atang berpandangan, provokasi isu yang mengandung konten suku, ras, agama, wilayah, dan golongan tersebut menunjukkan ketidakmatangan kita dalam berdemokrasi dan menjaga kualitas demokrasi.
“Demokrasi kita boleh maju tapi tidak dibarengi dengan kematangan kita. Dan kualitas demokrasi sangat bergantung pada kedewasaan kita dalam merespons dinamika politik,” katanya.
Dirinya menegaskan, partai politik memegang peran penting sebagai katalisator yang membangun format politik yang bagus untuk berkomitmen terhadap cara pandang partai politik terhadap isu-isu identitas.
Sehingga pada level masyarakat tidak terbawa dengan cara pandang identitas sempit yang menggunakan politik identitas untuk saling membunuh merebut kekuasaan.
Terkait Pemilu 2024, dirinya berpandangan pengelompokkan partai politik sudah mencair daripada Pemilu sebelumnya di tahun 2019.
Dirinya menjelaskan, pengelompokkan partai politik saat ini tidak berdasarkan platform ideologi partai politik, melainkan berdasarkan kesamaan figur.
Sebagai contoh, partai Islam seperti PAN dan PPP yang sebelumnya bersama PKS pada Pemilu 2019, saat ini justru membangun kedekatan dengan Partai Golkar.
“Tapi jangan lupa bahwa figur sama juga hari ini. Dimana Anies muncul sebagai representasi dalam tanda petik, kalo umpamanya kita melihat pilkada DKI,” tambahnya.
Menurutnya, jika dibandingkan dengan pemilu 2019 maka kekuatan politik identitas bergeser dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kepada figur Anies R. Baswedan. Karena itu, kekuatan politik identitas masih sangat permanen.
Oleh karena itu, dirinya menyarankan kepada penyelenggara dan pengawas pemilu untuk mendesain model pelaksanaan dan pengawasan pemilu yang memangkas mata rantai politik identitas, sebagaimana memangkas politik transaksional.
Sehingga, apabila ditemukan partai politik, kader maupun simpatisan yang menggunakan politik identitas sebagai kekuatan untuk mendapatkan kekuasaan, maka dapat diberikan sanksi oleh KPU dan Bawaslu.
“Jangan hanya mengawasi biar dia siap terlibat, itu tidak terlalu substansi. Tapi bagaimana kita membangun demokrasi yang berkualitas, kita mesti menghindari penyakit-penyakit demokrasi seperti apa yang kita sebut sebagai intoleran, bahkan jangan lupa bahwa demokrasi kemudian membuka ruang masuknya aktor-aktor radikalis,” katanya.
Sementara itu, lanjut Ahmad Atang, kontestasi pemilu tahun 2024 juga membuka peluang yang besar bagi kelompok radikalis untuk turut memperjuangkan kepentingannya melalui dukungan terhadap calon tertentu.
Sehingga partai politik harus sungguh-sungguh menyeleksi kader dan figur yang akan dipilih oleh masyarakat menduduki jabatan-jabatan politik di Indonesia.
Partai politik, juga harus berperan aktif dalam pendidikan politik kepada masyarakat sehingga masyarakat menyadari bahwa demokrasi bukan masalah menang dan kalah, tetapi lebih pada pilihan yang mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Dirinya juga berharap kepada KPU dan Bawaslu matang dalam menyelenggarakan dan mengawasi kontestasi pemilu. KPU dan Bawaslu harus bisa memproteksi diri dengan seperangkat aturan yang mengendalikan semua stakeholders.
Dengan cara demikian, setidaknya pemilu tahun 2024 mengakhiri transisi demokrasi dan membawa Indonesia masuk pada fase konsolidasi demokrasi.(*/ER)