Tarian Sunyi Dibalik Undang – undang Desa

Tarian Sunyi Dibalik Undang – undang Desa

SEWINDU  perjalanan undang-undang Desa, sejak di sahkan oleh Presiden RI ke-6 Bapak SBY pada tanggal 15 Januari 2014, Undang undang nomor 6 tersebut sangat memberikan angin surga terutama pegiat desa, yang selama ini memberikan keprihatinan yang luar biasa terhadap perkembangan dan pertumbuhan Desa.

Pegiat Desa, merasa sangat tidak cukup dgn beberapa undang-undang yang ada, baik mengatur secara eksklusif maupun Inklusif tidak relevan dalam mewadahi pertumbuhan dan perkembangan Desa hari ini. Dimana kebijakan program pembangunan desa, yang selama ini hanya menempatkan desa sebagai objek pembangunan, bukan meletakkan desa sebagai fondasi bangsa yang perlu di berikan kepercayaan penuh sebagai miniatur ketatanegaraan dalam memerankan fungsi dan perannya.

Ben Mboy (mantan Gubernur NTT) dalam bukunya ‘percikan pemikiran menuju kemandirian Bangsa’ ia menulis bahwa, negara itu ibarat sebuah jembatan maka, ujung jembatan sebelah di pegang oleh Presiden dan sebelahnya lagi di pegang oleh kepala desa. Begitulah urgensi Desa dalam menjamin kemandirian sebuah negara bangsa.

Refleksi sewindu undang-undang desa pada tahun ini, masih menyimpan pertanyaan, apakah filosofi lahirnya undang-undang nomor 6 itu sudah menjawab kebutuhan zaman atau belum?.

Sewindu atau 8 tahun, adalah sebuah periode yang cukup panjang, karena konsekuensi sebuah undang-undang adalah mampu menjamin kebutuhan rakyat Indonesia yakni mengantarkan rakyat Indonesia ke gerbang pintu kemakmuran dan kesejahteraan.

Lahirnya UU Desa adalah sejarah panjang yang penuh liku, pegiat Desa adalah aktor2 terdepan yang penuh keringat membuka lembaran2 milyar bagi anggota DPR-RI, namun bagi mereka lembaran kertas RUU itulah kemenangan yang akan segera di raih. Oleh karena itu refleksi 8 tahun undang undang nomor 6 tahun 2014 perlu di lakukan karena menurut Filsuf Socrates (469 SM-399 SM) “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak untuk dihidupi.”.

Entitas Pegiat desa adalah Pendamping Desa (semoga memiliki senyawa yang sama), turut mengarungi perjalanan undang undang Desa, sejak medio 2016, Pendamping Desa di gerakan untuk turut mengadvokasi implementasi undang-undang desa, dalam realitasnya kehadiran pandamping desa sangat memberikan peranaan yang penting dalam tata laksana pemerintahan desa. Setiap tahapan pembangunan desa, pendamping desa turut andil dan berkontribusi.

Apapun pengaruh pendamping desa, dalam proses pembangunan Desa, namun harus di sadari bahwa pendamping desa adalah bagian dari outsider dalam tata pemerintahan desa, sehingga, filosofi dalam membangun desa mandiri terkadang berada dalam ruang embigunitas, karena semakin pihak outsider diberikan tupoksi dalam menjawab kebutuhan desa, maka pihak insider atau aparatur desa semakin terlena dan terkesan infantilis.

Desa dan aparatur desa, harus didorong menjadi tatanan yang mandiri, tidak kemudian sengaja di amputasi bahkan dijadikan sebagi klien disable yang perlu dirawat dan dilayani secara khusus, hal itu terjadi maka, sampai kapanpun hak-hak istimewa yang diamanatkan dalam undang-undang desa, tentang hak rekognisi dan subsidaritas semakin sulit kita capai, karena desa masih dibelenggu oleh anasir-anasir pihak autsiser yang terkadang dititipkan program yang sifatnya ad hoc, yang tidak berjangka panjang namun demi kepentingan sesaat.
Bagi saya, dalam rangka mewujudkan desa yg mandiri, maka terlebih awal adalah bagai mana meningkatkan kapasitas para penyelenggara pemerintahan desa, sehingga menjadi fondasi awal terwujudnya kemandirian desa bermula dari sumber daya manusianya.

Pilihan meningkatkan sumber daya manusia bagi aparatur desa adalah pilihan tepat sebagai upaya menjamin kemandirian desa yang berjangka panjang, tidak prematur dan beresiko adanya culture shock. Sehingga pemerintah di wajibkan menghadirkan regulasi tentang aparatur desa dan memenuhi kebutuhan aparatur desa, bukan lagi menyuntik sumber daya aparaturnya secara instan.

Perlu kita sadari bahwa Keberadaan Pendamping Desa ini, bukan saja menutup kemungkinan terwujudnya desa yang mandiri namun, ada hal menarik yang cukup agitatif bagi Pendamping Desa, karena sebagai pihak outsider, terkadang membuka ruang adanya kepentingan2 lain yang menunggangi keberadaannya.
Atas tunggangan itulah semakin mengkikis habis nilai2 darma baktinya dan berorientasi pada kepentingan2 lain tersebut. Inilah permulaan tarian Sunyi itu diciptakan. Undang undang Desa, dgn segala Mandatnya itu di tunggu oleh kelompok tertentu bakhan oleh pihak perseorangan, hal yg sangat naif, karena begitu besarnya mision undang undang Desa, namun mengaburkan nilai substantif kepada orientasi yang ekslusif. Pendamping desa yang tidak loyal direkayasa, di dzolimi hingga menyatakan tidak sanggup, dipindahkan bahkan di exit dari program.

Terkait dgn konteks ini maka secara khusus kita harus jawab bahwa Pendamping Desa, yang kemudian akan di angkat sebagai pegawai PPPK, harus masuk dalam menejemen Menpan RB atau BKN Kemendagri biar pola pembinaanya lebih determinasi dan profesional agar bisa Menutup pintu para germo dalam melacurkan para pendamping yang tulus bekerja untuk negeri tercinta.

 

Penulis.
Abdul Rifai Betawi
TPP Prov. NTT (2016-2021)

error: Content is protected !!