KUPANG. NUSA FLOBAMORA- Perubahan nomenklatur dari BPTP Balitbangtan ke BSIP merubah pola kerja jajaran di tingkat bawah termasuk Badan Penerapan Standar Instrumen Pertanian atau BPSIP NTT.
Sebelumnya fokus perhatian BPTP pada inovasi dan riset maka ketika menjadi saat BPSIP maka lebih fokus ke pengujian hasil inovasi. Saat ini 1000 komponen teknologi tanaman pangan holtikultura yang perlu dilakukan pengujian.
Hal ini disampaikan Kepala Sub Koordinator Kerjasama Pengujian dan Penerapan BPSIP NTT,Irianus Rejeki Rohi kepada Media ini di ruang kerjanya, Rabu (27/9/2023).
Dijelaskan Irianus, ketika belum berubah nama menjadi BPSIP lembaga ini menjadi tempat para peneliti melakukan inovasi dan riset. Para peneliti dari latarbelakang keahliannya melakukan penelitian dan langsung menerapkannya di lapangan.
Tetapi saat ini, kata Irianus, pola kerja tersebut telah bergeser dimana fokus BPSIP melakukan pengujian terhadap hasil riset yang sudah ada di lapangan sekarang ini.
“Imbasnya memang ada pengurangan pada Sumber Daya Manusia peneliti. Memang masih peneliti tapi fokus kerjanya pada pengujian hasil riset. Sekarang ini ada 1000 hasil riset yang perlu diuji perkembangannya,” kata Irianus.
Untuk itu, jelas Irianus, langkah pertama yang dilakukan sekarang adalah memperkenalkan BPSIP NTT ini ke publik sehingga tidak salah mengerti.
“Tugas kita adalah menguji hasil riset yang sudah ada apakah perlu diperbaiki sesuai dengan cuaca ataupun iklim. Saya contohkan misalnya pada Padi Ciherang. Kita uji dampaknya seperti apa sekarang dengan melihat iklim yang terjadi,” jelas Irianus.
Menyinggung soal program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) dari pemerintah NTT saat ini, Irianus mengatakan, program tersebut belum sempurna karena ini merupakan pilot project Balitbang.
Dia menegaskan bahwa penerapan TJPS secara tepat itu seorang petani minimal memiliki lahan 2 hektar dimana 1 hektar ditanami jagung buat kebutuhan rumah tangga dan 1 hektar untuk pengembangan modal usaha selanjutnya misalnya memelihara sapi.
Walaupun begitu, selaku peneliti akan siap menjadi mitra dengan pemerintah NTT untuk teknologi pertanian. Mereka siap berkolaborasi untuk menerapkan teknologi dengan standarisasi instrumen Fisik, biologi dan sistem.
Sebelumnya Kepala BPSIP NTT, Dr Ir Sophia Ratnawati, M.Si mengatakan, Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) lahir pada 21 September 2022 melalui Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2022 yang memiliki tugas menyelenggarakan koordinasi, perumusan, penerapan, dan pemeliharaan, serta harmonisasi standar instrumen pertanian.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Standardisasi Instrumen Pertanian menyelenggarakan beberapa fungsi.
Pertama, Penyusunan kebijakan teknis perencanaan dan program, perumusan, penerapan, dan pemeliharaan, serta harmonisasi standar instrumen pertanian.
Kedua, Pelaksanaan koordinasi, perumusan, penerapan, dan pemeliharaan serta harmonisasi standar instrumen pertanian.
Ketiga, Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan koordinasi, perumusan, penerapan, dan pemeliharaan serta harmonisasi standar instrumen pertanian.
Keempat, Pelaksanaan tugas administrasi Badan Standardisasi Instrumen Pertanian
Kelima, Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Sementara itu pada kegiatan Gebyar Agrostandar juga dilaksanakan bimtek buat para penyuluh juga Kelompok Tani (Poktan) dari Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Bimtek ini terkait penguatan peternakan yang difokuskan pada pembibitan sapi potong Bali terstandar termasuk memperkenalkan ternak sapi bibit yang selama ini dikembangkan di Desa Tesbatan 1 dan Desa Oenoni 1 Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang.
Menurut salah satu pemateri Bimtek dan Penanggung Jawab Kegiatan Bimtek, Ir. Onike T Lailogo, M.Si, Ph.D mereka menghadirkan para penyuluh dan poktan ini agar mereka terus mengikuti perkembangan dalam hal pemeliharaan sapi.
Apalagi saat ini merekapun tengah melakukan pendampingan pemeliharaan bibit sapi di Desa Tesbatan 1 dan Desa Oenoni 1 di Kecamatan Amarasi pada Kelompok Pemula dan Kelompok Bakituan.
“Jadi di bimtek ini selain penyuluh dan Poktan mendapatkan bekal pengetahuan juga melihat secara langsung pengukuran seluruh ternak sapi sehingga para petani bisa mengikuti perkembangan,” kata Onike.
Dia menambahkan ternak calon bibit yang tengah dikembangkan di dua desa itu sesuai hasil Standar Nasional Indonesia (SNI).
Ditanya soal kendala yang dihadapi petani peternak, Onike mengakui terkait persoalan perkawinan sapi secara alamiah.
Pasalnya, kendala yang dihadapi para petani peternak yakni perkawinan sapi. Makanya pihaknya mengarahkan ke sistem Inseminasi Buatan (IB) walaupun terkendala dengan ketersediaan semen yang terbatas.(ER)